Pasalnya, dalam tiga tahun meraih WTP, Pemkab Minsel mengantongi tidak sedikit kasus korupsi yang terungkap, bahkan sudah sampai pada penjatuhan vonis. Itulah sebabnya sejumlah aktivis anti korupsi menilai BPK terlalu terburu-buru memberikan opini atas laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemkab Minsel.
"Perlu menjadi pertanyaan, mengapa saat BPK memberikan opini WTP justru banyak kasus korupsi diungkap oleh penegak hukum. Sebut saja kasus tanggul pemecah ombak, pengadaan Damkar hingga Paskibraka," tukas Sonny Nayoan, SH, pengiat anti korupsi Minsel.
Noyoan menyayangkan, BPK dalam pemeriksaannya tidak mendapati adanya penyimpangan yang menjurus pada korupsi.
"Bahkan infonya dikatakan ketiganya sama sekali tidak diberikan TGR. Artinya dianggap bersih," sembur Nayoan.
Menurut dia, dengan terungkapnya kasus korupsi, menjadi indikasi kebocoran pemeriksaan oleh BPK. Bukan tidak mungkin sebenarnya jumlah korupsi di Minsel jauh lebih banyak.
Hanya saja tidak terungkap dan ada kekurang telitian dalam memeriksa. Sehingga menurutnya pemberian opini harus ditinjau kembali. Ini perlu ditinjau agar opini BPK dapat memperoleh kepercayaan publik.
"Harusnya ada beriringan antara opini BPK dengan pemerintahan yang bersih. Jangan justru bertolak belakang, contoh saja di Jakarta saat pemerintahan Ahok diketahui tidak mendapat WTP. Tapi tidak ditemukan adanya korupsi, berbeda dengan di Minsel. Karena itu saya mintakan BPK dapat lebih teliti lagi, agar opini yang diberikan benar-benar tepat. Selain itu juga hasil pemeriksaan BPK dapat menjadi pintu masuk menjeret koruptor," pintanya.
Nayoan juga menyinggung proyek jalan Pakuure-Sapa yang menurutnya 'lolos' dari BPK.
"Sudah banyak diinformasikan bahwa proyek tersebut bermasalah. Bahkan dari temuan anggota DPRD Jaclyn Koloay ada dugaan proyek fiktif. Belum lagi proyek-proyek yang tidak berfungsi seperti destilasi air laut dan green house. Proyek tersebut jelas-jelas merugikan negara karena tidak berfungsi, bahkan kini sudah rusak sebelum dimanfaatkan," pungkasnya. (Meyvo)