Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus saat diwawancarai awak media. Foto: Istimewa |
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
JAKARTA, Komentar.co - Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) seperti Petrus Selestinus, Erick S Paat, Ricky D Moningka dkk kembali meminta Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri untuk memanggil sejumlah pihak yang berkompeten di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) guna didengar keterangannya sebagai saksi atas dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian RI oleh beberapa oknum polisi selama masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Sulut.
Permintaan pemanggilan sejumlah pihak terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Kepolisian RI di Sulut itu disampaikan oleh TPDI dalam laporan yang disampaikan secara tertulis kepada Divpropam Polri.
“Tujuannya agar Divpropam Polri mendapat gambaran yang jelas guna membuat terang peristiwa yang diduga sebagai ketidaknetralan anggota Polri dan kegiatan politik praktis yang diduga dilakukan anggota Polri dalam Pilkada 2024 di Sulut, sehingga dapat dipastikan siapa saja pelakunya,” kata Koordinator TPDI Petrus Selestinus SH di Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Peristiwa yang terjadi itu, kata Petrus, antara lain beberapa oknum Polri meminta kepala desa untuk menurunkan bendera PDI Perjuangan yang merupakan alat peraga kampanye partai politik peserta Pilkada 2024 di Sulut dan mengarahkan agar kepala desa mengarahkan warganya memilih pasangan calon nomor urut 1.
“Juga beberapa kepala desa dan Plt Bupati di Sulut mendadak dipanggil ke Polres dan Polda untuk diperiksa dalam rangka penegakan hukum, yaitu pemberantasan korupsi. Padahal para kepala desa itu selama ini bersikap netral karena menghormati dan menaati aturan,” jelas Petrus.
Ajakan oknum anggota Polri agar kepala desa setempat dan warganya memilih paslon gubernur dan wakil gubernur tertentu, kata Petrus, sudah masuk dalam kegiatan politik praktis dan itu perbuatan melanggar hukum dan etika profesi kepolisian, yang wajib hukumnya ditindak.
Adapun mereka yang diminta TPDI agar dipanggil guna didengar keterangannya adalah, pertama, Irjen Pol Roycke Harry Lange sebagai Kapolda Sulut.
Kedua, AKBP Muhammad Chairil, Kapolres Bolaang Mongondow; ketiga. AKBP Arie Sulistyo Nugroho, Kapolres Talaud; keempat, Pendeta Johan Manampiring di Bolmong; kelima, Firasat Mokodompit, tokoh masyarakat Bolmong; dan keenam, Djelantik Mokodompit, Ketua Tim Sukses Calon Bupati-Wakil Bupati Limi Mokodompit-Welty Komaling di Kabupaten Bolmong.
Ketujuh, Kepala Desa Tapile Siau Timur; kedelapan, Kepala Desa Tadoy 1, Kepala Desa Tadoy Induk, dan Kepala Desa Bantik.
“Mereka diinstruksikan oleh oknum anggota Polri untuk nenurunkan bendera PDIP di wilayahnya,” papar Petrus.
Kesembilan, beberapa pihak terkait lainnya yang akan disampaikan menyusul.
“Mereka yang nama-namanya disebutkan di atas diduga memiliki informasi terkait perilaku ketidaknetralan dan dugaan politik praktis oknum Polri dalam Pilkada 2024 di Sulut,” cetus Petrus.
Padahal, lanjut Petrus, semua tahu bahwa baik di dalam Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, maupun Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Pori, Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, dan terbaru Instruksi Kapolri melalui Surat Telegram No ST/1160/V/RES.1.24.2023 yang ditujukan kepada seluruh Kapolda di Indonesia yang menuntut netralitas Polri dalam setiap kegiatan Pemilu dan Pilkada, melarang anggota Polri melakukan kegiatan politik praktis.
“Demi menjaga wibawa pemerintah, negara dan kepemimpinan nasional Presiden Prabowo Subianto yang terus-menerus menyuarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka Divpropam Polri tidak perlu ragu dalam bertindak, apalagi peristiwa ini merupakan peristiwa lokal, namun dampaknya sangat serius, karena merusak sistem demokrasi dan prinsip Pilkada jujur dan adil,” tandas Petrus.
Pilkada Sulut 2024 akan diikuti tiga paslon cagub-cawagub, yakni nomor urut 1 Yulius Selvanus Lumbaa-Victor Mailangkay; nomor urut 2 Elly Engelbert Lasut-Hanny Joost Pajouw; dan nomor urut 3 Steven Kandouw-Alfred Denny Djoike Tuejeh.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut kemudian mengumumkan, Yulius adalah mantan terpidana penculikan, dan Elly Lasut adalah mantan terpidana korupsi.